Gosari menjadi titik
bandar terbesar abad ke-07 pada saat Jawa bagian Timur belum ada kerajaan.
Kehidupan maritim lebih kental daripada kehidupan Agraris. Kehidupan Agraris di
sepanjang sungai Brantas dan Solo, dan kehidupan Maritim berada di pantura pada
saat kekuasaan Melayu dan Sriwijaya “bajak laut,” menguasai jalur laut pantura.
Sepanjang pantai Tuban (pelabuhan
Kambang Putih) sejak era Daha Airlangga sudah menjadi pelabuhan
internasional, sedangkan pelabuhan lokal, yang mengangkut barang-barang dari
pedalaman via sungai Berantas atau Solo bagian Timur berakhir (akses
perdagangan) di pelabuhan Ujung Galuh Surabaya.[1]
Kedua pelabuhan ini sudah
ada sejak pemerintah kerajaan Daha Airlangga. Pelabuhan Kambang Putih terakhir digunakan
saat tentara Kubilai Khan Cina-Mongol mendarat di Jawa (1292) melalui Kambang
Putih Tuban. Sejak peristiwa itu pelabuhan Tuban terjadi pendangkalan endapan
lumpur)[2] dan tidak bisa digunakan
lagi, konon dijadikan persembunyian bajak laut pantura. Dalam catatan sejarah
diketahui sejak peristiwa itu aktivitas pelabuhan internasional berpindah ke pelabuhan
Galuh, mungkin Surabaya atau Pasuruan di era kerajaan Mapajahit.
De Graff dalam bukunya, “Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa,” menjelaskan tidak ada aktivitas di pelabuhan Kambang Putih
semenjak tentara Mongol mendarat di Tuban. Faktor pendangkalan pantai tidak
diketahui sebab musababnya. Perkiraan De Graff, walaupun tidak bisa diteliti
lagi apakah 7 abad sebelumnya pelabuhan Kambang Putih sudah ada aktivitas
perdagangan internasional, dan berakhir tahun 1293 (berdirinya Majapahit), hal ini
sangat logis pasca penguasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu atas pantai Utara
terjadi aktifitas perdagangan kapal-kapal besar yang menghubungkan Nusantara
dengan luar negeri, ---menurut Casparis Filolog Belanda--- di antaranya negeri
India Utara, Selatan, Champa, Srilangka (Cailon), dan Kamboja sudah mengenal
Jawa, baru abad ke 16 (1453) pedagang Eropa mengenal Nusantara.
Perahu kecil dari
pedalaman via sungai Berantas dan Solo menuju pelabuhan Galuh, kemudian
rempah-rempah, gula, garam, biji makanan diangkut dengan perahu kecil menuju
pelabuhan besar Kambang Putih Tuban.
Dari sini kami menyebut
ada ngarai yang tersembunyi dan aman. Aktivitas perahu kecil dan kapal-kapal
besar antara Galuh dan kambang Putih Tuban ada transit sementara untuk
memperbaiki kapal, perahu, mengambil air Tawar, sekedar singgah sementara yang
sangat nyaman (rest area) karena
posisinya diapit oleh dua bukit gunung. Faktor ini yang menyebabkan wilayah
Ambal atau Gosari sejak abad 07 terkenal dengan bandar terbesar; tempat
berkumpulnya transaksi, dunia hitam-putih, orang-orang penting berdarah
ningrat, bajak laut, kepelacuran, di tempat ini mereka bebas melakukan akses
tanpa dibatasi oleh kekuasan upeti/pajak dari kerajaan manapun.
Abad ke 07 muncul
peradaban di Gosari terkait aktivitas larung saji, pusat pertemuan orang-orang
penting kerajaan era Tarumangera dan Mataram Kuno di Sunda Galuh saat mengalami
krisis kekuasaan antar keturunan. Dan penguasaan yang kuat kerajaan Sriwjaya atas
pantai Utara Jawa melalui kaki tangan bajak laut. Peradaban yang besar ini
ditunjukkan adanya aktifitias pabrik gerabah walau diprediksi abad ke-13, dan
tidak menutup kemungkinan kebesaran nama abad ke-13 berasal dari pusat bandar
sejak abad ke-07.
Dari titik sejarah
tersebut kami membedah Gosari; Gosari tempoe
doeloe, Gosari pasca Sanjaya mencari
legitimasi wahyu, dan Gosari pada saat pabrik Tembikar abad ke-13 masehi, dan
hubungannya dengan kerajaan Majapahit. Gua Butulan menjadi saksi yang
terekomendasi (data sejarah), sudut pandang meta-dimensional dan kajian mitologi kerakyatan menjadi referensi
sekunder.
Mungkin kajian metalogi-dimensional dan referensi mitologi
kerakyatan masih jauh disebut sejarah. Paling tidak ada upaya rasionalisasi
yang logis, sehingga tulisan ini menjadi buku sampai di Pembaca baik sebagai
kisah, legen, atau cerita rakyat yang pada dasarnya, itulah upaya penafsir
sejarah. Sosok penafsir sejarah untuk desa tercinta dan Wagos sebagai wisata
budaya.
Gresik, 02 Juli 2020
Fatihuddin - Fatee J
[1]
) Pelabuhan Galuh (Hujung Galuh) berdasarkan peta berada di wilayah Surabaya.
Pendapat ini banyak ditentang analisis sejarah kekinian, bahwa pelabuhan Galuh
ada di Surabaya (Tanjung Perak) karena tidak logis dengan perjalanan sejarah
yang lain. Hal ini menguatkan estimasi titik pelabuhan Galuh ada di sekitar
Mojokerta, atau Ploso Jombang, karena dua tempat ini dekat dengan aliran sungai
Brantas, di mana Galuh sebagai pelabuhan Lokal yang menghubungkan penduduk
lokal mengangkut hasil bumi melalui sungai berantas, dan berakhir di laut
sekitar Surabaya atau Pasuruan.
[2]
) De Graff 147: 1985
Komentar