Menyelesaikan buku ini penulis lakukan sejak 28 maret 2011 - 01 mei 2011, dan beberapa minggu ke depan untuk perbaikan. Pikiran ini berputar-putar meng-korelasikan dengan berbagai perumpamaan, “mengapa kita Berdzikir ?” terkait dengan ketentraman hati dan dzikir walau fakta syar’inya sudah jelas dan nyata. Penulis berupaya memfaktakan fenomena ketentraman hati agar dalil-dalil Al Qur’an dan hadits tidak terkesan “omong kosong” bagi sebagian orang yang kurang meng-imani masalah masyru’iyah . Kenyataan di lapangan menjadi fakta real tak terbantahkan, bahwa dominasi material sudah menjadi berhala di hati umat Islam. Kecenderungan hati mengejar dan menilai materi menjadi tujuan utama dengan persepsi bahwa satu-satunya pangkal kesuksesan dan kebahagiaan terletak pada unsur kapitalism, sehingga dzikir dan penerapannya menjadi slogan umat saja. Tatkala meletakkan hati dengan kontemplasi sepenuhnya kepada Allah ta'ala, pun rasanya membingungkan (kurang ada solusi) dalam rutinitas se
Kesunyian merupakan wujud yang abadi. Dia menjadi mahluk yang bertanggungjawaban mengawal perjalanan yg belum diketahui pemberhentiannya. Kadang berbentuk karya, kemarahan, ketaatan, dan penentangan. Orang yang paling beruntung, tatkala mampu merubah kesunyian itu menjadi mahluk lain yang abadi. Jadi keabadian yg kita kenal dari agama agama itu, pada dasarnya adalah wujud kesunyian.