Langsung ke konten utama

Lompatan Gila Pemikiran Kartini

Buku ini masih dalam bentuk naskah. Persiapan naskah sejak bulan Januari 2012, dan kiranya bisa masuk ke meja Redaksi (Penerbit Graha Pustaka Surabaya) tepat pada April 2012. Pihak penerbit sudah mempelajari dan mengedit beberapa kalimat yang kurang koheren, dan ketika bulan April pihak distributor (Jakarta) hendaknya akan naik cetak kalah cepat dengan penerbit Gramedia. Demikian yang saya ketahui dari Manajer Graha Pustaka, sehingga penerbitan naskah, “Lompatan Gila Pemikiran Kartini” tertunda.
Maaf, saya menulis buku ini terdorong dari fenomena sejarah bangsa ini kehilangan sosok wanita. Kita kehilangan banyak figure (saya lebih senang mengatakan, “sengaja dihilangkan) dan mengambil figure “orang lain” yang kurang bersesuaian dengan peradaban bangsa ini. Kartini ibarat mutiara terpendam; dia seorang kolomnis 1889-an di majalah-majalah wanita Eropa. Wanita-wanita Eropa sangat mengenal Kartini, dan menjadi pesemangat menggugat masalah gender di tengah arus revolusi ekonomi Eropa. Negara, kekuasaan, kaum lelaki, mereka sukses dalam gerakan imperalisme dan kolonial atas bangsa-bangsa yang lebih lemah seperti “Hindia Belanda,” akan tetapi kaum wanita mereka tetap tertindas (dianggap harta tidak bergerak), dan lebih bebas dan merdeka seperti sosok Kartini. Mutiara “Kartini” sedemikian mulia dihadapanm waniota-wanita Eropa.
Kata pengantar naskah buku yang saya tulis;
Perjalanan sejarah Raden Ajeng Kartini perlu dikaji kembali atas bangsa ini. Seiring proses demokratisasi di Indonesia, banyak kalangan mempertanyakan latarbelakang Kartini memperoleh gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia (Ir. Soekarno) No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. SK tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan sekaligus menetapkan hari lahir Kartini 21 April sebagai Hari Besar Nasional yang harus diperingati oleh seluruh komponen rakyat Indonesia. Seiring proses demokratisasi peringatan Hari Kartini tiba-tiba kurang dikenal oleh masyarakat.
Buku “Door Duisternis tot Licht - Lompatan Gila Pemikiran Kartini” sengaja meng-konstruksi kembali figur R.A. Kartini dari sudut pemikiran dan sepak terjang kewanitaannya. Setiap peringatan Hari Besar Nasional hanya disuguhkan seremonial peringatan tanpa memahami makna dari peringatan itu. Surat-surat Kartini yang terkodifikasi dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang,”sudah kurang dikenal oleh generasi sekarang, maka buku ini sengaja memotret kembali surat-surat Kartini dari segi pemikiran sejarah, sosial budaya, dan agama. Kartini mengritik semua itu. Beliau seorang kolomnis majalah wanita di Eropa, bahkan ikut berkiprah (melalui pemikiran) proses emansipasi kaum wanita Eropa pada zamannya. Proses historikal seperti ini perlu diketahui untuk menerjemahkan kembali mutiara yang hilang, door duisternis tot licht dengan perwajahan baru.
Melihat dari kiprah pemikiran di tingkat internasional beserta para aktifis kaum wanita Eropa sudah bisa diukur kemampuan intlektual Kartini. Dan mutiara terpendam Kartini hanya menjadi upacara seremonial di era orde baru. Penulisan buku ini tidak melihat kontroversi sejarah antara kemunculan R.A. Kartini bagian dari gerakan politik etis bangsa Belanda, atau validasi surat-surat Kartini yang diprakarsai oleh Mr. J.H. Abendanon (saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Ketrampilan untuk Hindia Belanda) dicurigai bahwa penerbitan door duisternis tot licht sebagai upaya pribadi (KKN) untuk meningkatkan kariernya di hadapan Ratu Belanda. Atau gugatan ilmiah, seorang peneliti 1970, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar menggugat masalah kepahlawanan Kartini.  R.A. Kartini adalah pahlawan wanita yang sengaja dimunculkan oleh kerajaan Belanda. Ia menulis bahwa seorang Orientalis Barat Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda dibidang penelitian agama di tanah Jawa memerintahkan kepada  Mr. Jacques Henrij Abendanon (1852-1925), agar mendekati Kartini untuk dijadikan figur wanita Jawa melalui pemikiran-pemikirannya. Kartini seorang kolomnis Jawa yang sering menulis di majalah-majalah wanita Eropa.[1] Pemikiran Kartini terlalu liberal untuk kaum dan bangsanya, dan tugas Menteri jajahan bidang Pendidikan dan Agama untuk mendekati Kartini, dan membangunnya menjadi tokoh yang dimunculkan oleh Belanda agar nilai ke-liberal-annya tidak mengganggu kekuasaan kolonial Belanda. 
Buku ini bukan lahir dari sudut pandang pro kontra tersebut, melainkan penulis memandang door duisternis tot licht dan sosok R.A. Kartini adalah bagian dari realitas sejarah dari berbagai sejarah yang dikenal rakyat Indonesia, bahwa R.A. Kartini meninggalkan warisan pemikiran, “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dari buku door duisternis tot licht, tanpa melihat perbedaan pendapat.
 Diantara bahwa ciri khas pemikiran Kartini sangat mendekati pandangan kultur, bukan sudut pandang politik kebangsaan atau histori belaka. Pergerakan kultur “Indonesia” dari para leluhur sedemikian cerdas, pintar, progresif, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dari penindasan kolonial. Kartini adalah seorang gadis Jawa yang berani berteriak “penjajah” di hadapan para penjajah dengan caranya yang santun dan luhur. Pemikirannya sudah menyamai wanita-wanita Eropa yang aktif dalam organisasi pergerakan kaum wanita Eropa. Mereka mengakui daya intlektual Kartini. Mereka hendak mengajak Kartini menjadi aktifis dalam pergerakan wanita-wanita Eropa. Namun adat yang usang sangat membatasi gerak kreatifitasnya.
Warisan leluhur bangsa ini, bagian dari itu termasuk pola pikir Kartini melawan ketidakadilan dan penindasan intlektual. Kartini hidup dalam penindasan budaya, adat, seremonial keraton, diskriminasi gender, dan kritikan tajam para penjajah. Sikapnya masih konsisten terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan hanya satu jalan agar bangsa ini bisa keluar dari budaya feodal kaum penjajah, serta formulasi adat yang kurang bijak itu, yakni melalui pendidikan. Pendidikan bagi kaum wanita dan seluruh rakyat bumiputera merupakan jalan utama yang wajib dilalui oleh bangsa dan rakyat, yang mencita-citakan kebebasan dari penindasan; baik penindasan kolonial, intlektual, ekonomi, candu, lebih-lebih penindasan karakter dan budaya. Era 1900-an, seorang Kartini sudah mampu merekam model-model penjajahan gaya baru selain faktor kolonialisme.
Dengan kata lain “Door Duisternis tot Licht - Lompatan Gila Pemikiran Kartini”  merupakan refleksi pemikiran Kartini, diambil dari kodifikasi surat-surat beliau yang dikirim kepada teman-teman korespondensi. Pola pemikiran yang direkam dari kandungan surat-surat hampir melampaui batas dizamannya, dan tidak kalah cerdas dan berani dari para pemikir wanita zaman sekarang. Bahkan lebih berani, radikal, dan bebas menyuarakan bias gender, agama, dan sistem kepemerintahan.

Catatan Khusus
Surat-surat Kartini diterbitkan Mr. J.H. Abendanon tahun 1911 menimbulkan kontroversi sejarah. Sebagian pendapat mempertanyakan validasi surat-surat itu. Bahkan seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, Armijn Pane, menerjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu pun dipertanyakan kebenarannya. Dan kebenaran Armijn Pane menerjemahkan dari judul  “Door Duisternis tot Licht,” menjadi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” sejak tahun 1938 diterbitkan Balai Pustaka sudah diterima masyarakat sampai sekarang tanpa ada kesepakatan gugatan ilmiah. Yang sampai di masyarakat masih bersifat pendapat, dan tidak sampai pada taraf kesepakatan ilmiah berdasarkan keputusan yang dikuatkan oleh hukum tertentu. Buku yang ada ditangan Pembaca ini bukan rangkaian kumpulan surat-surat “Habis Gelap terbitlah Terang,” dan tanpa memberikan pendapatnya antara penerjemah satu dengan penerjemah sebelumnya. Setiap perbedaan pendapat hanya bersifat dugaan sejarah tanpa bukti yang kurang valid juga. Dan Penulis hanya melihat konsep pemikiran dan tantangan R.A. Kartini, sebuah pemikiran yang sangat mendalam dan luas. Dan saya anggap warisan leluhur yang wajib dijaga dengan baik dan benar.
Ada beberapa catatan perbaikan;
1.      Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” karya Armijn Pane terbit tahun 1968 masih ejaan Soewandi. Buku tersebut menjadi sumber pokok mengutip surat-surat dalam penulisan buku ini. Selanjutnya kutipan surat langsung menjadi EYD untuk memudahkan pembaca. Cara seperti ini menyalahi aturan, sebab setiap kutipan tidak boleh merubah kalimat aslinya, termasuk ejaan, kecuali penulisan titik, koma, tanda tanya, seru, titik dua, semuanya masih  ditulis sesuai aslinya
2.      Jika kutipan surat ada penjelasan dalam kurung dan diakhiri Pen (.............. – Pen), penjelasan itu dari penulis sendiri
3.      Untuk mengurangi kesalahan pemahaman makna surat, ada kebijakan diksi (pilihan kata) dari penulis, misal Penerjemah (Armijn Pane) menulis “pendapatan,” maksudnya bukan pendapatan (penghasilan) tetapi “pendapat,” dan diakhiri simbol ‘Pen’ bercetak tebal
Harapan kami buku ini menjadi kerangka penting untuk merubah pola pikir dan budaya kemasyarakatan dalam memahami dan meneladani para srikandi Indonesia.

Gresik, 20 Januari 2012
Penulis


[1] Brooshooft  adalah salah satu tokoh politik etis berkebangsaan Belanda.  Sastrawan, budayawan, wartawan, dan komitmen dengan profesinya tanpa terpengaruh oleh sistem pemerintahannya sendiri.  Tahun 1887 melakukan observasi ilmiah ke tanah Jawa, yakni melakukan perjuangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan penindasan feodal kaum penjajah. Dan dalam penelitian ilmiahnya sangat jujur menggambarkan kesengsaraan rakyat Hindia Belanda pasca tanam paksa. Ia berjuang keras di Parlemen Belanda atas  atas dasar temuannya, ditanda tangani oleh 1.255 orang, dan memohon dengan hormat agar meletakkan wakil orang-orang pribumi di parlemen Hindia Belanda.
Akan tetapi perjuangan kemanusiaan ini gagal. Kemudian tahun 1904 kembali ke Belanda, dan meneruskan perjuangannya melalui keahlian tulis menulis. Seperti 1906 pernah menulis naskah drama, “Arm Java,” (kasihan, pulau Jawa), salah satu plot ceritanya menampilkan tokoh Murtinah, putri seorang Bupati yang sudah berpikiran modern. Putri itu rajin menulis artikel di majalah-majalah Belanda dan suka mengirim surat kepada teman-teman wanita yang berkebangsaan Belanda.
Jika diregulasikan kompetensi Kartini dan jeda tahun kejayaannya, bukan tidak mungkin yang dimaksud Murtinah dalam karya sastra brooshooft adalah Raden Ajeng Kartini dari Jepara.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Album Kenangan Pondok Ramadhan 1989-1990 Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan

F. Jonesuan

Pengobatan Penyakit Hati

indopena Saya menyelesaikan buku ini tanggal 18 Maret 2002. Banyak orang bertanya, apa itu hati, dimana, dan seberapa jauh peranannya terhadap manusia. Apakah manusia itu, adalah hati itu sendiri ? Terkenal dengan sebutan  "Al qalb," Al Qur'an menyebut "An nafs" dan istilah-istilah yang lain. Yang jelas kita punya hati. Setiap disiplin ilmu  menyebutkan istilahnya berbeda-beda. Istilah dalam Al Qur'an, "hati" diklasifikasikan sesuai dengan karakter dan wataknya; ada yang disebut nafsu lawwamah (ada yang menyebutnya nurani), dan juga nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), dan ada nafsu jahat. Masing-masing memiliki kecenderungan dan watak yang berbeda-beda.  Saya mengawalinya dengan mengenal watak dasar hati, sifat dan kecenderungannya, karena dengan mengenal hati kita sendiri, kita bisa menaklukkan hal-hal buruk yang menguasai hati.  Termasuk mengenali penyakit hati, karena dengan mengenali penyakit, kita bisa mengobati penyakit itu sendi

Mitologi-Sejarah Prasasti Gosari 1376 M

F. Jonesuan PRAKATA Gosari menjadi titik bandar terbesar abad ke-07 pada saat Jawa bagian Timur belum ada kerajaan. Kehidupan maritim lebih kental daripada kehidupan Agraris. Kehidupan Agraris di sepanjang sungai Brantas dan Solo, dan kehidupan Maritim berada di pantura pada saat kekuasaan Melayu dan Sriwijaya “bajak laut,” menguasai jalur laut pantura. Sepanjang pantai Tuban (pelabuhan   Kambang Putih) sejak era Daha Airlangga sudah menjadi pelabuhan internasional, sedangkan pelabuhan lokal, yang mengangkut barang-barang dari pedalaman via sungai Berantas atau Solo bagian Timur berakhir (akses perdagangan) di pelabuhan Ujung Galuh Surabaya. [1] Kedua pelabuhan ini sudah ada sejak pemerintah kerajaan Daha Airlangga. Pelabuhan Kambang Putih terakhir digunakan saat tentara Kubilai Khan Cina-Mongol mendarat di Jawa (1292) melalui Kambang Putih Tuban. Sejak peristiwa itu pelabuhan Tuban terjadi pendangkalan endapan lumpur) [2] dan tidak bisa digunakan lagi, konon dijadikan persembunyi